## Ancaman Ketidakamanan di Era Digital: Peran Penting Cinta Diri Sendiri pada Anak Usia Dini dan Buku Cerita sebagai Solusi
Era digital yang ditandai oleh maraknya media sosial telah menimbulkan fenomena mengkhawatirkan: meningkatnya rasa ketidakamanan (insecurity) di berbagai kalangan usia, terutama remaja. Sebuah survei oleh Yahoo mengenai Body Peace Resolution mengungkapkan fakta mengejutkan: 94% remaja putri dan 64% remaja putra pernah mengalami body shaming (Daffa, 2021). Angka-angka ini sangat tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat body shaming merupakan salah satu faktor utama penyebab munculnya rasa insecure. Oleh karena itu, penting untuk memahami akar permasalahan ketidakamanan ini dan mencari solusi efektif untuk mengatasinya, khususnya pada anak usia dini yang merupakan masa pembentukan karakter dan kepribadian.
Ketidakamanan, secara psikologis, didefinisikan sebagai perasaan atau emosi negatif yang muncul ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa lebih rendah (Mardiana et al., 2021). Perasaan ini seringkali diiringi oleh kecenderungan untuk selalu membandingkan diri dengan standar-standar yang dibentuk oleh lingkungan sekitar, baik itu standar fisik, sosial, maupun prestasi. Ketidakamanan yang berlangsung lama dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan bahkan mempengaruhi produktivitas individu. Fokus utama individu yang insecure akan beralih dari pengembangan diri dan penemuan jati diri menjadi upaya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, sebuah proses yang menguras energi dan dapat berujung pada depresi dan penurunan kualitas hidup.
Salah satu akar penyebab utama rasa ketidakamanan adalah kurangnya cinta diri (self-love) (Chandra, 2021). Ketika seseorang tidak mampu menerima dirinya apa adanya, ia menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal dan mudah terpengaruh oleh standar-standar yang sebenarnya tidak relevan dengan dirinya. Oleh karena itu, menanamkan konsep self-love sejak dini menjadi sangat penting. Anak yang dibesarkan dengan rasa cinta dan penerimaan diri akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, memahami kebutuhan dirinya sendiri, dan memiliki kecerdasan emosional dalam berinteraksi sosial (Baby, 2021). Mempelajari cinta diri sejak usia dini memberikan tameng yang kuat bagi anak dalam menghadapi berbagai tekanan sosial dan pengaruh negatif yang dapat memicu ketidakamanan.
### Pentingnya Cinta Diri Sendiri bagi Perkembangan Anak yang Sehat
Anak yang mencintai diri sendiri dan memiliki persepsi positif tentang dirinya mampu menghadapi konflik dengan tenang dan tidak mudah terpengaruh oleh standar yang dipatok orang lain (Hastuti, 2016). Hal ini dikarenakan mereka telah mengenali jati dirinya, nilai-nilai yang dianut, dan karakteristik unik yang dimilikinya. Mereka memahami bahwa setiap individu memiliki keunikan tersendiri dan kekurangan merupakan hal yang wajar, sementara kelebihan adalah hal yang patut dikembangkan dan dimaksimalkan. Lebih jauh lagi, menanamkan self-love sejak usia dini berperan sebagai pencegahan dini terhadap gangguan mental dan emosional pada anak, yang seringkali sulit dideteksi (Choresyo et al., 2015). Faktor-faktor psikogenik seperti hubungan yang tidak sehat dengan teman sebaya dan lingkungan masyarakat juga dapat memicu gangguan mental dan emosional pada anak (Putri et al., 2015). Oleh karena itu, menanamkan cinta diri sendiri menjadi kunci penting dalam melindungi anak dari ancaman tersebut.
### Buku Cerita Anak: Media Efektif untuk Mengajarkan Cinta Diri Sendiri
Anak-anak merupakan penyerap informasi yang luar biasa (Kirana, 2021). Perkembangan mereka di usia dini sangat berpengaruh pada kepribadian di masa dewasa (Khairi, 2018). Buku cerita anak hadir sebagai media yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai positif, termasuk cinta diri sendiri. Anak-anak usia dini sangat tertarik dengan cerita fiksi yang imajinatif (Farisy, 2016), dan buku cerita mampu memicu minat dan ketertarikan mereka pada berbagai hal, termasuk karakteristik kepribadian dan konsep cinta diri.
Buku cerita dapat melatih berbagai aspek perkembangan anak, mulai dari agama-moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, hingga seni (Kamilah, 2021). Cerita yang bertemakan cinta diri sendiri akan memberikan gambaran konkret tentang konsep tersebut kepada anak, lebih mudah dipahami daripada penjelasan teoritis. Anak dapat mengkaitkan cerita dengan pengalaman pribadi, merangsang imajinasinya, mendapatkan kesenangan, dan melatih kemampuan bersosialisasi tanpa terbebani oleh standar-standar sosial yang kaku (Munthe & Halim, 2019).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan efektivitas buku cerita dalam pengembangan self-love. Annisa Srimaryanti, dkk. dalam penelitiannya “Analisis Self-love dalam Kumpulan Cerita Anak Majalah Bobo” menyimpulkan bahwa cerita-cerita di Majalah Bobo mengandung aspek-aspek tersirat tentang cinta diri yang dapat mengembangkan sikap tersebut secara menyenangkan (Srimaryanti et al., 2022). Susana Kamilah dalam penelitiannya “Analisis Konten Buku Cerita Aku Sayang Tubuhku sebagai Media Pendidikan Seksual untuk Anak Usia Dini” juga menunjukkan bahwa buku cerita merupakan media yang efektif untuk pendidikan seksual anak (Kamilah, 2021). Vivi Sufiati dan Nur Hasanah dalam penelitian “Pengembangan Sosial Emosi Melalui Cerita untuk Anak Usia Dini” menemukan bahwa cerita dapat menstimulasi aspek sosial dan emosional anak (Sufiati & Hasanah, 2023).
### Analisis Buku Cerita “Rafa, si Raflesia” sebagai Contoh
Buku “Rafa, si Raflesia,” karya Debby Lukito Goeyardi dan diilustrasikan oleh Vannia Rizky Santoso, merupakan contoh buku cerita yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai cinta diri. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Bestari bekerja sama dengan Room to Read Accelerator ini (cetakan pertama 2019), dengan 24 halaman berukuran A4 dan ilustrasi gunting kertas yang menarik, menceritakan kisah Rafa, bunga Raflesia yang unik dan berbeda dari bunga-bunga lainnya.
### Identifikasi Aspek Cinta Diri dalam “Rafa, si Raflesia”
Penelitian menunjukkan bahwa buku “Rafa, si Raflesia” mengandung makna tersirat tentang cinta diri, yang mencakup empat aspek utama:
1. **Kesadaran Diri (Self-Awareness):** Rafa, sebagai tokoh utama, menunjukkan kesadaran akan dirinya sebagai bunga yang berbeda. Ia mampu mendeskripsikan karakteristik dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, dan mengungkapkan perasaannya. Ini penting karena kesadaran diri merupakan dasar dari self-love, memahami potensi diri, mengendalikan emosi, dan membangun kepercayaan diri (Zahra & Hayati, 2022; Shoshana, 2020; Ningtyas & Risina, 2018).
2. **Harga Diri (Self-Esteem):** Meskipun berbeda dan mengalami penolakan, Rafa tetap senang dan merasa berharga karena memiliki teman yang setia. Ini menunjukkan harga diri yang tinggi, kemampuan mengevaluasi diri secara positif, dan keyakinan akan keberhargaan diri (Mahendra & Sari, 2017; Dewi, 2015; Kamaruddin et al., 2022).
3. **Kepercayaan Diri (Self-Worth):** Rafa bangga dengan dirinya, meski menyadari kekurangannya. Ini mencerminkan kepercayaan diri yang tinggi, kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan, dan mengekspresikan diri dengan positif (Kusuma, 2020b; Aini, 2018).
4. **Perawatan Diri (Self-Care):** Rafa senang bermain dengan teman-temannya, menunjukkan upaya untuk merawat dirinya sendiri secara emosional dan sosial, baik dengan teman yang menerimanya maupun yang tidak (Kusuma, 2020).
Kesimpulannya, buku cerita anak seperti “Rafa, si Raflesia” dapat menjadi media yang efektif dalam menanamkan nilai cinta diri pada anak sejak usia dini. Dengan menumbuhkan self-love, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, tangguh, dan mampu menghadapi tantangan di era digital yang penuh dengan tekanan dan pengaruh negatif. Pentingnya peran orang tua dan pendidik dalam mengenalkan dan membimbing anak dalam membangun cinta diri tidak dapat diabaikan untuk memastikan perkembangan yang sehat dan bahagia.
**(Daftar Bacaan seperti di atas)**